Para Hudoq itu datang membawa kabar kebaikan. Mereka berdialog dengan manusia sambil m emberikan berbagai macam benih dan tanaman obat-obatan sesuai pesan yang diberikan oleh Asung Luhung. Dari kisah itulah, nama Hudoq melekat di masyarakat Dayak Bahau dan Modang. Tarian ini dilakukan erat hubungannya dengan upacara keagamaan, dengan maksud untuk memperoleh kekuatan mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Para penari Hudoq ini biasanya berjumlah 13 orang yang melambangkan 13 dewa pelindung dewa Hunyang Tenangan, dewa yang memelihara tanaman padi. Di sela-sela kerimbunan semak belukar dan pepohonan mereka mulai mengenakan kostum yang terbuat dari daun pisang hingga menutupi mata kaki dan topeng kayu yang menyerupai binatang buas. Daun pisang adalah lambang kesejukan dan kesejahteraan. Sementara itu, warna pada Topeng Hudoq, biasanya didominasi oleh warna merah dan kuning, yang dipercaya sebagai warna kesukaan para dewa.
Topeng warna
merah ini merupakan gambaran perwujudan dewa Hunyang Tenangan. Sebelum
tarian Hudoq dimulai, terlebih dahulu digelar ritual Napoq. Napoq adalah
prosesi sakral yang wajib dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan
Hudoq. Ritual ini dipimpin oleh seorang Dayung yakni orang yang
memiliki kemampuan supranatural untuk berkomunikasi langsung dengan para
Hudoq. Dengan didampingi dua asistennya, Dayung berkeliling kampung
sambil membunyikan mebang atau gong kecil. Yang berfungsi sebagai alat
komunikasi penyapaan kepada para roh-roh penjaga desa, bahwa Napoq
sedang dilakukan. Selanjutnya, Dayung akan memanggil dan meminta kepada
penguasa alam semesta yang memiliki empat sapaan yakni Tasao, Tuhan
Pencipta; Tanyie', Tuhan Penjaga; Tawe'a, Tuhan Penuntun dan Tagean,
Tuhan Yang Berkuasa; agar penyelenggaraan hudoq dapat berjalan aman dan
lancar. Kemudian, para Hudoq dijamu makan siang oleh sang Dayung, dengan
cara menyuapi para penari yang telah dirasuki titisan dewa yang
mengenakan topeng Hudoq. Setelah makan siang, Dayung pun melakukan
komunikasi dengan para Hudoq, yang disebut dengan Tengaran Hudoq.
Komunikasi ini, menggunakan bahasa Dayak yang santun dan halus, yang
hanya bisa diterjemahkan oleh sang Dayung. Dari komunikasi ini, biasanya
diketahui kelanjutan hasil bercocok tanam, apakah panennya berhasil
atau tidak. Dayung pun meminta, agar para Hudoq melindungi tanaman
mereka dari serangan hama. Kemudian, ritual dilanjutkan dengan kegiatan
ugaaitan atau menarik nyawa padi. Dalam ritual ini, para Hudoq berbaris
sejajar, yang urutannya disesuaikan dengan kelas sosial para dewa. Para
dewa dengan kelas sosial tertinggi berada di barisan terdepan. Sambil
membaca mantera, para Hudog menarik nyawa padi sebanyak tujuh kali. Tari
Hudoq biasanya digelar di tengah lapangan atau sawah yang akan
ditanami. Dengan ritme cukup tinggi, para penari Hudoq melakukan gerakan
Nyidok atau Nyebit yaitu gerakan maju sambil menghentak kaki. Disusul
dengan gerakan Ngedok atau Nyigung yaitu menghentak¬kan kaki dengan
tumit diiringi gerakan tangan yang mengibas-ngibas layaknya gerakan
sayap seekor burung yang sedang terbang. Gerakan ini bermakna untuk
mengusir hama penyakit agar tidak menyerang tanaman padi. Secara umum,
gerakan tarian ini mengandung makna memutar ke kiri untuk membuang sial
dan memutar ke kanan untuk mengambil kebaikan.
Sumber Asli : http://dunialain-laindunia.blogspot.com/2009/04/tari-hudoq-dari-kalimantan-timur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar